Personal Semua Kategori

Biggest Storm in my Life

 

2014 dibuka dengan beberapa kejadian yang membuat saya sedikit terpuruk dalam kesedihan.

29 Januari 2014 

Papa meninggalkan kami untuk selama lamanya setelah dirawat selama 27 hari karena penyakit jantung dan infeksi paru – paru. Kami semua shock, tidak pernah menyangka bahwa Allah akan mengambil ayah kami secepat ini, karena memang sebelumnya ayah tidak pernah mengeluh sakit. Beruntung saya bisa menikah dengan ditemani papa sebagai wali nikah sebelum beliau meninggal. Tentu keluarga kami diselimuti duka mendalam, banyak pertanyaan dan ketakutan menyelimuti kami. Satu hal yang membuat kami kuat, melihat mama bisa setegar sekarang. Mama orang terkuat yang pernah kami lihat bahkan untuk beberapa orang yang sudah pernah ditinggalkan sebelumnya mendengar dan melihat mama bisa setegar sekarang bukanlah hal yang mudah dilakukan. Saat papa meninggal kami bergantian menalkinkan allahu akbar di telinga papa, dan mama bisa dengan kuat berada di samping papa saat terakhir sebelum papa menghembuskan nafas terakhirnya karena merasa mama yang harus melakukannya. Dan alhamdulilah kami bisa melihat papa bisa mengikuti mengucapkan asma allah. Subhanallah hadiah terbaik untuk kami melihat papa meregang nyawa dengan cara terbaik tanpa rasa sakit sedikitpun dan ketenangan yang luar biasa.

Setelahnya Mama hanya menangis dua kali setelah papa meninggal, satu kali saat melihat jenazah papa dibawa ke mobil jenazah dan yang kedua saat bertemu kakek yang telah menunggu kami di rumah (papa meninggal di RS). Setelah kedua kejadian itu tidak pernah sekalipun saya atau anak anak mama melihat mama menangis, mungkin dalam doa dan shalat beliau tapi tidak di depan orang lain bahkan di depan kami anak anaknya.

Ada satu hal yang mengganjal di hati saya saat itu. Saya belum sempat mengatakan pada papa kalau saya sedang mengandung saat itu. Ya, saya baru tau bahwa saya hamil di tengah tengah papa sedang dirawat. Dengan berbagai pertimbangan keluarga dan dokter kandungan menyarankan saya untuk mengurangi jadwal menemani mama menunggui papa di Rumah Sakit. Akhirnya saya setuju meskipun tetap hati saya berat. Hanya saat papa mengalami masa kritis saya diperbolehkan menginap. Kami takut jiga memang pendapat dokter menjadi kenyataan kami tidak ada di situ.

Satu minggu setelah papa meninggal saya kembali ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutin. Ternyata ada hal yang tidak normal dalam pertumbuhan janin saya. Tidak ada detak jantung dan ukurannya sangat kecil untuk ukuran janin normal. Saya dilanda kekhawatiran karena dokter yang memeriksa memberikan penjelasan yang tidak jelas. Saya pun pergi ke dokter lain untuk mencari pendapat lain, ternyata janin saya divonis tidak berkembang dan harus segera dikuret.

Saya kaget waktu itu, sedih sekaligus bingung. Dokter yang bersangkutan tidak mau menjelaskan penyebab atau tindakan yang bisa saya perbuat untuk menyelamatkan janin saya. Waktu itu saya marah, marah karena saya tidak mengalami pendarahan sama sekali. Dokter memberi saya waktu 10 hari untuk berpikir. Saya pun memutuskan untuk bed rest selama 3 hari, berhenti dari pekerjaan sementara.

Hari keempat saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan lain untuk mencari pendapat lain. Barangkali dokter ini bisa membantu saya menyelamtkan janin saya. Ternyata saat diperiksa janin saya sudah lepas dari rahim dan harus segera divacum. Saya tidak punya pilihan lain selain menuruti saran dokter saat itu.
Saya ikhlaskan jika memang demikian jalannya. Sebelum dilaksanakan kuret saya hanya bisa terdiam. Mengobrol biasa dengan suami dan tante yang datang dadakan. Karena memang semuanya dadakan saya melarang mama maupun mama mertua untuk datang lagipula dokter bilang saya bisa langsung pulang setelah tindakan dilaksanakan. Tidak ada air mata yang bisa keluar saat itu, mungkin pikiran saya terlalu penuh saat itu. Entah apa yang saya pikirkan.

Setelah 20 menit saya berada di ruang vakum, janin saya berhasil divacum dan saya dipindahkan ke ruang observasi. Di tengah pengaruh anestesi saat suster berusaha membangunkan saya seketika itu juga tangis saya meledak, hanya suami yang berusaha menenangkan saya saat itu. Saya tidak tahu kenapa saya menangis waktu itu, saya tidak punya kontrol akan diri saya waktu itu, saya hanya bisa membiarkan diri saya meledak dan mengeluarkan emosi saya sejadi jadinya.

Setelah saya mulai benar benar sadar saya mulai berhenti menangia. Menatap wajah wajah yang saya kenal.

Butuh waktu untuk mencerna dan mengobati luka batin yang sudah ada. Saya merasa bangun dari mimpi terburuk. Pelan tapi pasti saya mencoba untuk bangkit. Kehilangan tidak membuat kita terbiasa akan sakitnya tapi setidaknya kita bisa lebih kuat menghadapinya.

Saya punya suami, keluarga, teman dan terutama sang pencipta yang bisa saya berpegang kepadanya. Saya yakin Allah menyiapkan rencana terbaiknya di balik semua ujian hidup yang saya alami.

We love u Pap more than u know.

Sepenggal kisah hidup saya yang mungkin saya bagi. Untuk memberikan harapan dan pelajaran bahwa hidup terlalu mudah untuk dilalui dengan kesedihan.

IMG_8557